Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
“Kenapa ya anak saya sekarang jadi suka menolak kalau diminta sesuatu?”
“Kalau mau pakai baju harus pilih sendiri, makan pun maunya ambil sendiri.”
Banyak bunda muda mengalami fase ini dan merasa bingung atau bahkan kewalahan. Anak yang sebelumnya menurut, kini mulai menunjukkan perilaku menolak, protes, atau terlihat ‘melawan’. Namun, penting untuk diketahui bahwa sikap seperti ini bukanlah tanda anak menjadi nakal. Sebaliknya, ini adalah tanda anak sedang berkembang dan belajar mengenal dirinya sendiri.
Dalam artikel ini, kita akan membahas mengapa anak mulai menolak perintah, apa makna di balik perilaku tersebut, serta bagaimana cara mendampingi anak dengan bijak, empatik, dan tetap konsisten.
Mengapa Anak Mulai Sering Menolak?
Anak usia 2–5 tahun sedang berada di tahap penting dalam perkembangan psikologisnya, yang disebut dengan fase otonomi. Pada tahap ini, anak mulai sadar bahwa dirinya adalah individu yang memiliki keinginan dan pandangan sendiri, berbeda dari orang tuanya.
Beberapa alasan mengapa anak mulai sering berkata “tidak mau” atau menolak arahan:
Penolakan ini adalah bentuk eksplorasi dan latihan anak dalam membangun identitas diri dan rasa percaya diri. Meski melelahkan bagi orang tua, fase ini sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak.
Protes Bukan Berarti Nakal
Dalam budaya kita, anak yang suka berkata “tidak” kadang dianggap keras kepala, bandel, atau tidak sopan. Padahal, perilaku ini merupakan langkah awal anak belajar berkomunikasi dan mengelola emosinya.
Anak yang bisa menyatakan perasaan dengan jelas sejak dini akan memiliki:
Tentu, penolakan tetap perlu diarahkan dengan cara yang sehat dan penuh empati. Namun, penting bagi orang tua untuk tidak langsung memberi label negatif pada anak yang sedang menunjukkan perkembangan wajar ini.
Foto: Internet
Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?
Peran bunda dan ayah sangat penting dalam mendampingi anak yang sedang belajar mengenali dirinya sendiri. Berikut beberapa pendekatan yang dapat dilakukan:
1. Beri Pilihan Terbatas
Anak yang diberi pilihan merasa lebih dihargai dan memiliki kontrol atas keputusan. Misalnya:
“Kamu mau pakai baju biru atau merah?”
Memberikan dua pilihan yang sama-sama dapat diterima oleh orang tua membuat anak merasa dilibatkan, tanpa kehilangan kendali dari pihak orang tua.
2. Validasi Emosi Anak
Saat anak marah karena permintaannya ditolak, orang tua dapat merespons dengan:
“Mama tahu kamu kecewa karena belum bisa main sekarang, ya?”
Validasi seperti ini membantu anak memahami dan menerima perasaannya. Anak yang terbiasa divalidasi akan lebih mampu mengelola emosi secara sehat saat tumbuh besar nanti.
3. Tegas Tapi Lembut dalam Menetapkan Batas
Empati tidak sama dengan memanjakan. Anak tetap butuh batas yang jelas, namun cara penyampaian tetap tenang dan hangat. Misalnya:
“Mama mengerti kamu ingin makan es krim, tapi sekarang waktunya makan siang. Setelah makan siang, baru boleh es krim ya.”
Konsistensi dan ketenangan dari orang tua akan memberikan rasa aman bagi anak.
Risiko Jika Respons Orang Tua Tidak Sesuai
Jika penolakan anak justru dihadapi dengan bentakan, ancaman, atau ditertawakan, maka anak bisa mengalami hal-hal berikut:
Sebaliknya, anak yang mendapatkan respons positif, sabar, dan empatik dari orang tua akan:
Pesan untuk Bunda: Sabar Itu Proses, Konsistensi Itu Kunci
Bunda, kami tahu bahwa mendampingi anak yang sedang berada dalam fase suka menolak bisa sangat menguras tenaga dan emosi. Apalagi jika bunda juga sedang menjalankan peran lainnya—sebagai istri, pekerja, atau ibu menyusui.
Namun, perlu diingat: setiap kali anak berkata “tidak mau” atau “aku sendiri saja”, itu adalah tanda bahwa mereka merasa cukup aman untuk jujur dan menunjukkan keinginannya. Ini justru menjadi bukti bahwa bunda telah menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan mental dan emosional anak.
Foto: Internet
Penutup: Dampingi Anak dengan Empati dan Ketegasan
Anak yang suka menolak bukanlah anak yang nakal. Mereka adalah pribadi kecil yang sedang belajar memahami dunia dan dirinya. Dalam proses itu, mereka membutuhkan bimbingan yang konsisten, komunikasi yang empatik, dan batasan yang jelas namun hangat.
Sebagai orang tua, kita tidak harus mengendalikan semua tindakan anak. Yang perlu kita lakukan adalah membimbing mereka agar bisa mengenali emosi, belajar menyampaikan keinginan secara sehat, dan bertumbuh menjadi individu yang mandiri serta percaya diri.
Bunda yang sabar, konsisten, dan empatik adalah fondasi bagi anak-anak yang kuat secara emosional dan tangguh menghadapi masa depan.