Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Melatih anak untuk menggunakan toilet sendiri adalah salah satu tonggak penting dalam tumbuh kembangnya. Toilet training menandai fase kemandirian baru bagi si kecil, sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi Bunda, khususnya bagi Bunda muda yang masih menjajaki peran dalam mendampingi anak secara penuh.
Salah satu kesulitan yang paling sering dialami Bunda adalah bagaimana mengajarkan anak untuk mengenali sinyal tubuh saat ingin buang air kecil. Proses mengenali rasa “kebelet”, mengkomunikasikannya, dan kemudian menuju toilet tepat waktu adalah keterampilan yang perlu dilatih secara bertahap.
Berikut ini adalah panduan praktis untuk membantu Bunda melatih anak menjalani toilet training dengan lancar, hangat, dan tanpa tekanan. Simak penjelasan selengkapnya bersama Bunda dan si Kecil!
Langkah awal dalam toilet training adalah membiasakan anak duduk di pispot atau kloset (dengan bantuan dudukan anak) secara rutin. Ini bukan soal memaksanya segera buang air, melainkan agar anak merasa familiar dan nyaman di toilet.
Cara melakukannya:
Mulailah sejak usia 1 tahun dengan duduk 5 menit di toilet setiap hari.
Lakukan setelah waktu makan, bangun tidur, atau sebelum mandi.
Bunda bisa membacakan buku, bernyanyi, atau sekadar ngobrol ringan agar suasananya menyenangkan.
Konsistensi ini akan membantu anak memahami bahwa toilet adalah tempat khusus untuk buang air, dan bukan tempat asing yang harus dihindari.
Foto: Internet
Setiap anak punya ritme buang air yang berbeda. Ada yang teratur setelah makan, ada juga yang sering pipis saat bermain. Bunda perlu mengamati kebiasaan ini agar bisa mengarahkan anak tepat waktu.
Tanda-tanda anak mau pipis bisa meliputi:
Tiba-tiba berhenti bermain dan tampak gelisah
Memegang atau memencet perut/selangkangan
Jongkok mendadak atau berdiri diam
Berkata, “perut penuh” atau sekadar terlihat tidak nyaman
Foto: Internet
Berikan anak kosakata sederhana untuk membantu mereka mengungkapkan keinginan buang air. Gunakan istilah yang mudah seperti “pipis”, “mau ke toilet”, atau “kebelet” sesuai usia dan kemampuan bahasa anak.
Banyak Bunda merasa khawatir anak belum bisa mengontrol buang air malam hari. Namun sebenarnya, kemampuan mengontrol pipis di malam hari umumnya datang lebih lambat dibanding di siang hari. Anak biasanya mampu mengontrol buang air siang hari di usia 2–3 tahun, sementara kontrol malam bisa menyusul satu tahun setelahnya.
Yang bisa Bunda lakukan:
Biasakan anak ke toilet sebelum tidur malam.
Hindari terlalu banyak cairan 1–2 jam sebelum tidur.
Gunakan popok malam selama masa transisi agar anak tetap nyaman saat belajar.
Jangan terburu-buru melepas popok malam hingga anak benar-benar siap. Yang terpenting adalah membuat proses belajar ini berjalan alami, tanpa tekanan.
Pujian adalah bagian penting dalam membangun kepercayaan diri anak. Namun, hindari pujian yang terlalu umum seperti “hebat” atau “pintar” saja. Sebaliknya, berikan pujian deskriptif yang menyoroti usaha dan proses.
Contoh pujian deskriptif:
“Wah, adik sudah bisa bilang kalau mau pipis, Bunda bangga sekali.”
“Terima kasih sudah duduk di toilet dengan sabar, ayo kita tunggu pipisnya keluar bersama.”
Pujian seperti ini akan membuat anak merasa dihargai, tidak hanya karena berhasil pipis, tetapi karena telah melakukan proses yang benar.
Untuk anak laki-laki, sebaiknya ajarkan buang air kecil sambil duduk terlebih dahulu. Ini bertujuan agar ia terbiasa dengan posisi buang air besar sekaligus buang air kecil.
Jika dari awal diajarkan buang air kecil sambil berdiri, bisa jadi ia menolak duduk saat ingin BAB karena merasa posisi tersebut tidak familiar. Setelah anak terbiasa dengan proses di toilet dan bisa membedakan jenis buang air, barulah Bunda dapat mengajarkan posisi berdiri saat buang air kecil.
Foto: Internet
Toilet training adalah proses belajar, dan setiap anak punya kecepatan masing-masing. Namun, bila anak masih belum bisa mengontrol buang air sama sekali di usia 6–7 tahun, atau menunjukkan rasa takut berlebihan terhadap toilet, sebaiknya konsultasikan ke dokter anak atau ahli tumbuh kembang.
Kondisi ini bisa disebabkan oleh gangguan medis, trauma emosional, atau masalah perkembangan yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Toilet training bukan perlombaan antara anak-anak, melainkan proses belajar seumur hidup yang dimulai dari pengenalan tubuh sendiri. Dibutuhkan kesabaran, konsistensi, dan komunikasi positif antara anak dan Bunda.
Bunda bisa mulai dengan mengenalkan anak pada rutinitas buang air, membantu mereka memahami sinyal tubuhnya, dan memberi dukungan di setiap langkah kecil yang mereka capai. Tidak perlu marah saat terjadi "kecelakaan" atau saat anak masih gagal. Justru di sinilah peran Bunda sangat penting sebagai pembimbing yang penuh pengertian. Ingat, setiap anak bisa belajar toilet training dengan baik selama ia merasa aman, tidak ditekan, dan didampingi oleh Bunda yang sabar.