Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Masa kehamilan adalah fase penuh perubahan luar biasa fisik, emosional, bahkan spiritual. Tubuh Bunda mengalami peningkatan hormon yang membuat perasaan jadi lebih sensitif, termasuk dalam berinteraksi dengan pasangan. Tidak jarang, perubahan suasana hati, kelelahan, atau ketidakseimbangan komunikasi memicu gesekan kecil hingga pertengkaran.
Namun, perlu Bunda dan Ayah pahami, pertengkaran saat hamil bukanlah hal sepele. Konflik berulang bisa berdampak langsung, bukan hanya pada hubungan, tapi juga pada kesehatan Bunda dan tumbuh kembang si kecil dalam kandungan. Simak penjelasan selengkapnya bersama Bunda dan si Kecil!
Selama kehamilan, hormon progesteron dan estrogen meningkat drastis. Perubahan ini tidak hanya memengaruhi tubuh, tetapi juga kestabilan emosi. Wajar jika Bunda menjadi lebih mudah tersinggung, cemas, atau merasa sedih tanpa sebab jelas.
Sayangnya, jika ketidakstabilan emosi bertemu dengan konflik yang tidak terselesaikan, tubuh akan memproduksi hormon stres (kortisol) berlebihan. Hormon ini bisa menembus plasenta dan memengaruhi janin.
Foto: Internet
Karena itu, penting untuk menjaga suasana hati tetap stabil dan mengelola konflik dengan bijak.
Stres berkepanjangan meningkatkan hormon kortisol yang dapat memengaruhi pertumbuhan otak janin. Dampaknya, anak berisiko mengalami kesulitan konsentrasi, keterlambatan bicara, atau gangguan kognitif di kemudian hari.
Stres kronis pada Bunda dapat menghambat pembentukan sistem imun janin, sehingga si kecil lebih rentan terhadap infeksi atau alergi setelah lahir.
Stres akibat pertengkaran membuat daya tahan tubuh Bunda melemah, meningkatkan risiko infeksi, kelelahan, dan gangguan tidur yang dapat memperburuk kondisi kehamilan.
Foto: Internet
Stres terus-menerus bisa memicu kontraksi dini dan meningkatkan risiko persalinan prematur. Bayi prematur rentan terhadap berbagai masalah kesehatan, mulai dari gangguan pernapasan hingga keterlambatan perkembangan.
Tekanan emosional dapat mengganggu nafsu makan dan penyerapan nutrisi, sehingga janin berisiko lahir dengan berat badan rendah.
Foto: Internet
Stres prenatal dapat memengaruhi sistem hormonal janin, meningkatkan risiko anak mengalami diabetes, hipertensi, hingga penyakit jantung saat dewasa.
Paparan kondisi emosional negatif selama di dalam kandungan dapat membuat anak lebih rentan terhadap kecemasan, kesulitan tidur, hingga perilaku agresif saat tumbuh.
1. Bangun Komunikasi yang Sehat
Ungkapkan perasaan dengan jujur namun lembut. Hindari nada menyalahkan, fokuslah pada solusi.
2. Luangkan Waktu Berkualitas Bersama
Habiskan waktu santai berdua untuk mempererat koneksi emosional. Jalan-jalan ringan, piknik kecil, atau menonton film favorit bisa membantu.
3. Belajar Mengelola Emosi
Teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau prenatal yoga bisa membantu Bunda menenangkan diri.
4. Jangan Ragu Minta Bantuan Profesional
Jika konflik terasa berat, konsultasikan dengan konselor atau psikolog untuk menemukan solusi sehat.
5. Libatkan Suami dalam Perjalanan Kehamilan
Mengajak Ayah ikut ke pemeriksaan kehamilan, memilih perlengkapan bayi, atau berdiskusi soal persiapan persalinan akan membangun rasa kebersamaan yang kuat.
Foto: Internet
Kehamilan bukan hanya perjalanan seorang ibu ini adalah perjalanan tim: Bunda dan Ayah bersama si kecil. Pertengkaran mungkin sesekali terjadi, tapi dengan komunikasi yang sehat dan saling mendukung, semua bisa diatasi. Ingat, setiap langkah kecil yang Bunda dan Ayah ambil hari ini akan membentuk masa depan si kecil. Yuk, ciptakan suasana rumah yang penuh cinta, damai, dan penuh harapan untuk menyambut kehadiran buah hati tercinta!