Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Sebagai orang dewasa, kita punya banyak kosakata untuk menyampaikan rasa marah, kecewa, sedih, bingung, atau bahagia. Kita bisa mengatakan, “Aku butuh istirahat,” atau “Aku sedang stres.” Namun, bagaimana dengan anak-anak?
Anak belum mampu mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata sejelas dan sekompleks kita. Maka jangan heran jika mereka menyampaikan apa yang dirasakan melalui reaksi tubuh dan perilaku. Menangis, berteriak, membantah, tantrum, tiba-tiba diam, atau menempel terus pada bunda semua itu adalah cara mereka berkomunikasi.
Maka penting bagi kita untuk berhenti melihat perilaku tersebut semata-mata sebagai kenakalan atau pembangkangan. Sebaliknya, kita perlu mulai mengajukan pertanyaan yang lebih dalam:
“Apa yang sebenarnya anakku coba sampaikan lewat perilaku ini?” Yuk, Bun mari simak sama-sama penjelasan selengkapnya bersama Bunda dan si Kecil!
Ketika anak tantrum karena dilarang menonton TV, mungkin yang sebenarnya dia rasakan adalah kebingungan dan kekecewaan. Ketika anak diam seribu bahasa saat ditanya kenapa marah, mungkin ia sedang berjuang memahami emosi dalam dirinya. Saat anak menempel terus, mungkin dia hanya ingin berkata, “Aku butuh rasa aman.”
Perilaku-perilaku ini adalah sinyal. Anak sedang mengatakan:
• “Aku belum bisa bilang ini dengan kata-kata.”
• “Tolong bantu aku pahami perasaanku.”
• “Tolong dengarkan aku, jangan langsung marahi.”
Foto: Internet
Dalam proses tumbuh kembang, anak tidak hanya belajar berbicara, berjalan, atau makan sendiri. Mereka juga sedang belajar mengenali, memahami, dan mengelola emosinya. Kemampuan ini tidak tumbuh begitu saja. Diperlukan bimbingan, kesabaran, dan empati dari orang tua.
Bunda mungkin pernah menjumpai anak yang menangis histeris karena baju yang dikenakan tidak sesuai keinginannya, atau yang melempar mainan karena frustasi. Tindakan seperti itu bukan semata-mata karena anak “sulit diatur”, tapi karena mereka belum bisa menamai dan menyalurkan emosinya dengan tepat.
Menjadi orang tua bukan hanya soal mengatur atau mengarahkan, tetapi juga tentang belajar mendengarkan. Bukan hanya mendengar suara, tapi juga membaca sinyal emosional yang anak sampaikan.
Mendengarkan anak berarti:
• Menunda untuk langsung menghakimi
• Menurunkan ego sebagai orang tua
• Memberikan ruang aman bagi anak untuk mengekspresikan perasaannya
• Menghindari respon seperti “Ah, itu mah rewel,” atau “Nggak usah nangis, malu dilihat orang”
Alih-alih begitu, coba ganti dengan:
“Kamu kecewa ya karena mainannya rusak?”
“Kamu capek ya? Bunda ngerti, yuk istirahat bareng.”
1. Anak Menangis Saat Tidak Diberi Permen
• Reaksi biasa: “Sudah, diam! Jangan nangis cuma karena permen!”
• Respon penuh empati: “Kamu kecewa ya nggak bisa makan permen sekarang? Yuk bunda peluk dulu, nanti kita cari camilan yang sehat, ya.”
2. Anak Tiba-Tiba Diam Setelah Dimarahi
• Reaksi biasa: “Kenapa sih kamu diam aja? Jawab dong!”
• Respon penuh empati: “Bunda tahu kamu lagi sedih. Bunda di sini kalau kamu mau cerita.”
Karena anak belum bisa mengungkapkan emosi dengan jelas, maka bunda bisa membantu mereka:
✅ 1. Menamai Emosi
“Kamu marah ya karena mainannya direbut?”
Dengan membantu menamai, anak mulai belajar membedakan rasa sedih, marah, kecewa, dan takut.
✅ 2. Memberikan Validasi
“Wajar kok kalau kamu sedih.”
Validasi membuat anak merasa emosi mereka diterima dan tidak dianggap salah.
✅ 3. Mengajarkan Cara Ekspresi yang Sehat
“Kalau marah, kamu boleh ngomong. Tapi tidak boleh pukul adik.”
Dengan begitu, anak belajar menyalurkan perasaan dengan cara yang aman.
Foto: Internet
Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang memahami bahwa setiap perilakunya adalah bentuk komunikasi, akan memiliki:
• Kemampuan mengenali dan menamai emosinya sendiri
• Kemampuan mengatur emosi dengan sehat
• Kepercayaan diri dalam menyampaikan kebutuhan
• Hubungan yang lebih kuat dan terbuka dengan orang tuanya
Dan semua itu bukan hanya bermanfaat saat mereka kecil. Ini akan menjadi bekal penting untuk menghadapi masa remaja dan dewasa dengan mental yang kuat dan emosi yang sehat.
Foto: Internet
Bunda, anak mungkin belum bisa berkata, “Aku lelah,” atau “Aku butuh dipeluk.” Tapi mereka menunjukkannya lewat sikap, reaksi, dan tangisan. Maka, sebelum buru-buru mengoreksi, bangun dulu koneksi. Bukan dengan omelan, tapi dengan pelukan. Bukan dengan perintah, tapi dengan empati.
Ingat selalu:
“Anak belum bisa bicara selancar kita. Tapi mereka tetap ingin didengar.”
Dan dalam setiap reaksi, ada pesan. Dalam setiap pesan, ada kebutuhan yang menunggu untuk dipahami.