Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Tantrum adalah bagian dari perkembangan emosi anak, terutama pada usia balita (1–5 tahun). Bentuknya bisa berupa menangis keras, berguling di lantai, melempar mainan, bahkan berteriak. Bagi bunda, apalagi saat terjadi di tempat umum, tentu sangat menantang. Namun penting untuk dipahami: tantrum bukanlah tanda bahwa anak manipulatif atau sengaja membuat malu.
Sebaliknya, tantrum adalah respons anak terhadap emosi besar yang belum bisa mereka kelola atau ungkapkan dengan kata-kata. Sebagai orang tua, tugas kita adalah membantu anak melewati fase ini dengan tenang dan penuh pengertian. Simak penjelasan selengkapnya bersama Bunda dan si Kecil!
Tantrum tidak muncul tanpa sebab. Biasanya, anak mengalami ledakan emosi karena:
1. Emosi Terlalu Besar dan Tak Terkendali
Anak-anak belum memiliki kemampuan mengatur emosi seperti orang dewasa. Ketika mereka merasa marah, kecewa, bingung, atau takut, emosi tersebut bisa terasa “meledak” di dalam tubuh mereka. Karena belum punya cara yang sehat untuk menyalurkan perasaan itu, maka tantrum menjadi bentuk ekspresi alami.
Foto: Internet
2. Kesulitan Mengomunikasikan Perasaan
Bayangkan jika bunda merasa sangat kesal, tapi tidak bisa menjelaskan kenapa. Inilah yang dirasakan anak saat tantrum. Mereka belum memiliki kosakata atau pemahaman cukup untuk berkata: “Aku sedih,” “Aku marah,” atau “Aku tidak nyaman.” Maka yang keluar adalah tangisan, jeritan, atau perilaku impulsif.
3. Ketidaknyamanan Fisik atau Lingkungan
Anak yang lapar, lelah, kepanasan, atau terlalu banyak stimulasi (seperti suara bising, cahaya terang, atau keramaian) bisa mengalami tantrum sebagai reaksi tubuh terhadap stres yang tak bisa mereka jelaskan.
Salah satu kesalahan orang tua adalah menganggap tantrum sebagai bentuk manipulasi. Faktanya, anak tantrum bukan karena ingin mengontrol, tetapi karena sedang kewalahan.
Daripada menganggap anak “sedang cari perhatian”, ubah pola pikir menjadi:
“Anakku sedang kesulitan dan butuh bantuanku untuk mengatur emosinya.”
Dengan perspektif ini, bunda akan lebih mudah untuk merespons dengan cara yang mendukung, bukan malah memperburuk keadaan.
Foto: Internet
Berikut beberapa langkah konkret yang bisa bunda terapkan saat menghadapi anak yang sedang tantrum:
✅ 1. Tetap Dekatkan Diri, Jangan Menjauh
Jangan meninggalkan anak sendirian atau mengancam pergi saat mereka menangis. Kalimat seperti:
• “Kalau terus nangis, bunda tinggal!”
• “Kamu memalukan sekali!”
… justru membuat anak merasa tidak aman dan tidak dicintai.
Sebaliknya, katakan:
“Bunda di sini, yuk tarik napas sama-sama.”
“Kamu boleh marah, dan bunda bantu kamu pelan-pelan tenang, ya.”
Respons yang tenang dan penuh kasih ini membantu anak menurunkan kadar stresnya.
✅ 2. Biarkan Anak Menangis, Dampingi dalam Diam
Tangisan bukan hal yang buruk. Itu adalah cara tubuh anak membuang emosi yang menumpuk. Jangan buru-buru menyuruh mereka diam. Duduklah di dekat mereka, sentuh lembut bahunya, dan beri ruang untuk mereka merasa divalidasi.
Setelah tangisan mereda, bantu anak mengenali emosinya:
“Tadi kamu marah banget ya karena mainannya diambil?”
“Kamu sedih karena nggak jadi beli es krim?”
Ini adalah langkah awal penting dalam membangun kecerdasan emosional.
Setelah anak tenang, bunda bisa mengajak mereka mengevaluasi apa yang baru saja terjadi. Jangan memberikan ceramah panjang, cukup gunakan momen ini untuk:
• Mengenalkan kosakata emosi: marah, kecewa, takut, sedih
• Memberikan strategi: menarik napas dalam, memeluk boneka, minta tolong
• Membangun rasa aman: “Bunda tetap sayang, walau kamu tadi marah.”
Dengan pendekatan ini, anak tidak hanya belajar tentang emosi, tetapi juga merasa dicintai tanpa syarat.
Berikut adalah hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan saat anak sedang tantrum:
• ❌ Membandingkan dengan anak lain: “Lihat kakak, nggak pernah seperti kamu.”
• ❌ Menyuruh diam tanpa penjelasan
• ❌ Mengumbar emosi orang tua (membentak, membalas dengan amarah)
• ❌ Mengancam atau memberi hukuman fisik
Anak belajar dari cara kita menangani konflik. Bila kita bisa tetap tenang dan hadir secara emosional, anak juga akan meniru cara itu dalam menghadapi emosinya sendiri.
Tantrum sebetulnya bukan hanya “masalah perilaku,” tapi peluang bagi orang tua untuk membangun kedekatan emosional dengan anak. Melalui momen ini, kita bisa menunjukkan bahwa cinta kita tidak berubah meski anak sedang mengalami emosi besar.
Jika bunda konsisten hadir, mendengarkan, dan mendampingi, maka anak akan tumbuh dengan pemahaman bahwa semua perasaan itu valid, dan bisa dikelola dengan cara yang sehat.
Foto: Internet
Bunda, anak yang tantrum bukanlah anak nakal atau manipulatif. Mereka hanya sedang belajar memahami dunia emosinya yang besar dan kompleks. Dengan pendekatan yang tenang, penuh empati, dan tidak menghakimi, bunda bisa menjadi tempat yang aman bagi anak untuk belajar mengelola emosi.
Jadi, saat anak mulai menangis, berguling, atau berteriak, ingatlah: mereka tidak sedang melawan, tetapi sedang berkata dalam bahasa mereka sendiri,
“Aku butuh kamu, Bunda.”